Kalau di sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda (Ir. Soeratin, Pendiri PSSI)
Kisruh persepakbolaan Indonesia tak pernah kunjung usai. Ia seperti selalu dihantam oleh badai yang tak pernah reda. Selalu saja timbul problematika yang datang bertubi tubi. Agaknya, lirik Badai Pasti Berlalu yang ditulis oleh Eros Djarot tak tepat untuk menggambarkannya, karena pada kenyataannya dunia sepak bola Indonesia belum usai dari badai.
Puspa ragam problema sepak bola Indonesia. Dimulai dari kaderisasi, pembinaan, kompetisi, dan prestasi pada jenjang yang bertingkat. Prestasi Indonesia di tingkat Asia Tenggara saja agaknya sulit bangkit dalam waktu dekat, tersalip oleh beberapa negara tetangga yang baru muncul dalam sepak bola. Karena prestasi yang tak kunjung didapat itulah yang mungkin menjadi pemantik Hendri Mulyadi menggiring bola dan mengarahkannya ke gawang Bahrain. Mungkin ia gemas dan mungkin juga kesal, atau kombinasi atas keduanya. Aksi fenomenal Hendri inilah yang menyebabkan ia didukung oleh Tarekat Fesbuqiyyah-dengan munculnya grup pendukung Hendri-untuk maju sebagai calon ketua umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
Masih terbayang ingatan kita bagaimana Indonesia kalah dari Laos dan bagaimana jika berhadapan dengan Thailand yang mulai muncul sebagai kekuatan baru sepakbola di Asia Tenggara? Kalau tak kalah, pasti seri, dan jarang menang. Masuk ke putaran final World Cup? Siapa sih yang tak ingin kumandang Indonesia Raya bergetar di Piala Dunia? Wah kalau yang itu sih, entar entar aja deh..lha wong kaderisasi dan pembinaannya pun masih amburadul.
Untuk sementara boleh lah kita berbangga dengan bola bola nya saja. Ya, berbangga dengan bola saja bukan dengan kesebelasan Indonesia nya. Menurut sahibul hikayat, katanya bola bola di Piala Dunia itu made in Indonesia ya? Untuk sementara berbangga dengan hal itu saja dulu. Oh ya, kalau tak salah Indonesia tak lolos bukan menjadi bakal calon tuan rumah Piala Dunia tahun 2022?
Kalau ditanya siapa yang bertanggung atas ketidakmajuan (bukan kemajuan ya…) sepak bola, ya kita semua dan pemerintah tentunya. Masyarakat tugasnya mendukung, dan pemerintah mengatur kebijakan yang pro sepakbola. Asumsi saya sih sepenuhnya masyarakat mendukung. Apa buktinya? Lihat saja kompetisi lokal yang digelar, selalu penuh kan yang nonton. Terus, kalau Indonesia main di kandang sendiri, tanpa dihalo halo banyak supporter Indonesia yang rela merogoh koceknya hanya untuk sekedar nonton bola, walau hasilnya jarang dari memuaskan. Itu pandangan saya dari kalangan rakyat bawah. Kalau dari pihak pemerintah lebih baik tanyakan saja pada pihak yang berwenang.
Kalau ditanya lagi siapa yang paling bertanggung jawab atas ketidakmajuan dunia sepak bola, jawabannya adalah PSSI. PSSI adalah organisasi yang dianggap paling bertanggung jawab atas hal ini karena melalui badan inilah segala tetek bengek sepak bola ditata, diatur, dan dimaju-mundurkan. PSSI pula lah yang memanage kompetisi di negeri ini dengan segala derivasi masalah yang ditimbulkannya. Sayangnya, masih saja terdengar nada nada sumbang mengenai hal ini. Masalah supporter lah, pengaturan skor lah, main sabun lah, dan sebagainya. Itu salah siapa? Tak tahu lah hamba. Coba tanyakan saja pada-meminjam Ebiet-rumput yang bergoyang.
PSSI adalah badan resmi yang diakui oleh pemerintah dan FIFA-badan sepak bola tingkat dunia-sebagai satu satu nya pihak yang mengelola sepak bola. Karena organisasi resmi, maka tentulah kucuran dana berbagai pihak-FIFA, sponsor, pemerintah, sumbangan-untuk mengembangkan sepak bola pun mengalir melalui pintu ini. Walau tak ada anggaran sepak bola di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), mesti kita akui bahwa beberapa klub sepak bola masih menggantungkan sebagian harapan pada kucuran dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Tak tanggung tanggung beberapa klub mendapat subsidi APBD dalam hitungan puluhan milyar rupiah.
Padahal, bila kita berkaca pada tahun tahun awal pendirian PSSI, Soeratin-nama lengkapnya Soeratin Sosrosoegondo-sempat menjadikan rumahnya sebagai kantor pertama dari PSSI. Ia tak segan segan berkorban untuk kemajuan PSSI, karena ia yakin bahwa PSSI dapat menjadi-konteks waktu itu-alat perjuangan melawan kolonialisme. Tak hanya itu, saking aktifnya di PSSI, Soeratin kehilangan penghasilan sebesar 1000 gulden di tempat kerjanya. Ia memilih PSSI sebagai tempat pengabdiannya untuk sebuah negeri yang masih mencari identitas keindonesiaannya.
Agaknya, semangat Soeratinisme mesti dinyalakan lagi demi memajukan dunia sepak bola kita agar kembali ke khittah 19 April 1930, tanggal dimana PSSI lahir. Dan tahun ini adalah bertepatan dengan 80 Tahun PSSI. Bravo sepak bola Indonesia. Goyang mang….
Soeratinisme dan Sepak Bola Indonesia
| author: SSB DARINPosts Relacionados:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar